Zona Integritas KUA Kecamatan Cibitung

History

Sejarah Singkat KUA Kecamatan Cibitung

Latar Belakang

Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA merupakan unit kerja terdepan dan sebagai ujung tombak Kementerian Agama yang secara langsung berhadapan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang keagamaan. Secara historis, Keberadaan KUA adalah sejalan dan seiring dengan keberadaan Departemen Agama RI, yakni pada tanggal 3 Januari 1946, sepuluh bulan kemudian tepatnya pada tanggal 21 November 1946 keluarlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah. Namun demikian, sejarah panjang KUA jauh melampaui masa tersebut, yakni semenjak keberadaan kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, kesultanan Mataram Islam telah mengangkat seorang yang diberi tugas khusus dibidang keagamaan dengan tugas menjalankan fungsi-fungsi sebagai penghulu. 
Pada masa kolonial, unit kerja dengan tugas dan fungsi yang sejenis dengan KUA kecamatan, telah diatur dan diurus di bawah lembaga Kantor Voor Inslanche Zaken (Kantor Urusan Pribumi) yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendirian unit kerja ini tak lain adalah untuk mengkoordinir tuntutan pelayanan masalah-masalah keperdataan yang menyangkut umat Islam yang merupakan produk pribumi. Kelembagaan ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Jepang melalui lembaga sejenis dengan sebutan Shumbu.
Pada masa kemerdekaan, KUA Kecamatan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (NTR). Undang-undang ini diakui sebagai pijakan legal bagi berdirinya KUA kecamatan. Pada mulanya, kewenangan KUA sangat luas, meliputi bukan hanya masalah NR saja, melainkan juga masalah talak. Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diberlakukan dengan PP. No. 9 tahun 1975, maka kewenangan KUA kecamatan dikurangi oleh masalah talak cerai yang diserahkan ke Pengadilan Agama. 
Dalam perkembangan selanjutnya, Kepres No. 45 tahun 1974 yang disempurnakan dengan Kepres No. 30 tahun 1978, mengatur bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan sebagaian tugas Departemen Agama Kabupaten di bidang urusan agama Islam di wilayah Kecamatan . 
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan, mengisaratkan bahwa KUA tidak saja menangani NR, tetapi juga penertiban tanah wakaf di wilayah Kecamatan dari mulai AIW sampai memfasilitasi ke Badan Pertanahan Nasional untuk pensertifikatan tanah wakaf karena Kepala KUA sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Selanjutnya, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Haji. Kantor Urusan Agama sesuai Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 17 Tahun 2005 bahwa KUA harus melaksanakan proses bimbingan manasik haji bagi calon jemaah haji. 
Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama, Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Kantor Urusan Agama yang selanjutnya disebut KUA adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementrian Agama Kabupaten/ Kota di Bidang Urusan Agama Islam dan ayat (2) disebutkan Bahwa Kantor Urusan Agama berkedudukan di wilayah kecamatan. Dengan kata lain KUA sesungguhnya merupakan unit pelaksana teknis di bidang urusan agama Islam di wilayah kecamatan. 
Sejalan dengan perkembangan yang begitu pesat saat ini, KUA sebagai Unit Pelayanan Publik dan menjadi unit pelaksana teknis di bidang urusan agama Islam di tingkat kecamatan, dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Tuntutan tersebut semakin menguat seiring dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Walaupun dalam Undang-undang tersebut, Kementerian Agama (pada saat UU ini terbit, masih bernama Departemen Agama) merupakan salah satu dari lima instansi pemerintah yang tidak turut diotonomikan. 
Terlebih, setelah terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia nomor 1 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Kementerian Agama, KUA tidak bisa tidak, harus menata diri, dengan tetap mengacu pada prinsip pelayanan prima yaitu pelayanan yang cepat, tepat, murah, aman, berkeadilan dan akuntabel Kini, arah ke layanan primapun semakin mendesak untuk diwujudkan. 
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 39 Tahun 2012, KUA memiliki kedudukan sebagai pelaksana sebagaian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di Bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah kecamatan. Diantara tugas yang diemban oleh KUA adalah melaksanakan pelayanan, pengawasan , pencatatan dan pelaporan nikah dan rujuk, bimbingan keluarga sakinah, bimbingan kemasjidan dan bimbingan pembinaan syariah. 
Melihat kedudukan dan fungsinya tersebut, KUA seyogyanya tidak hanya melaksanakan tugas-tugas formalnya saja, tetapi harus mampu menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah instansi kepanjangan tangan Kementerian Agama dalam melaksanakan pelayanan publik di bidang urusan Agama Islam. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius. Sebab jika tidak, maka KUA akan senantiasa dikesankan oleh masyarakat luas hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengurusi pelayanan pernikahan dan rujuk semata. Dan andaikata kondisi semacam ini tetap dipertahankan, maka KUA pada khususnya dan Kementerian Agama pada umumnya akan kurang mendapat perhatian dari masyarakat. 
Dari paradigma di atas, KUA secara kelembagaan paling tidak mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai unit pelayanan publik dan sekaligus sebagai unit pelaksana teknis Bidang Urusan Agama Islam di Tingkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang dalam pelaksanaan tugasnya di bawah koordinasi Kepala Seksi Bimas Islam. Peran ini mengisyaratkan bahwa KUA juga mengemban tugas-tugas sosial keagamaan di luar kedinasan sebagai teladan masyarakat. 

Sejarah Berdiri

Keberadaan Kantor Urusan Agama Islam yang lebih dikenal dengan sebutan KUA adalah sejalan dan seiring dengan keberadaan Departemen Agama RI, yakni pada tanggal 03 Januari 1964, Sepuluh Bulan kemudian tepatnya pada tanggal 21 November 1946 keluarlah Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, namun demikian sejarah panjang KUA jauh melampaui masa tersebut, yakni semenjak keberadaan Kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu Kesultanan Mataram Islam telah mengangkat seorang yang diberi tugas khusus dibidang keagamaan dengan tugas menjalankan fungsi – fungsi sebagai penghulu.
Dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 517 Tahun 2001 tentang Pencatatan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan berkedudukan di Wilayah Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam / Bimas Islam / Bimas dan Kelembagaan Agama Islam. Dan pasal (2) bahwa disebutkan KUA mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dibidang Urusan Agama Islam dalam Wilayah / Kecamatan. Dengan kata lain KUA sesungguhnya merupakan Unit Pelaksana Urais di Wilayah Kecamatan.
Melihat Keputusan Menteri Agama ( KMA ) tersebut diatas, KUA memiliki kedudukan sebagai Pelaksana sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dibidang Urais di Wilayah Kecamatan. Diantara tugas yang diemban oleh KUA adalah melakukan pelayanan dibidang Nikah, Rujuk, Kemesjidan, Perwakafan, Ibadah Sosial, Pengembangan Keluarga Sakinah, Kependudukan dan Lain – lain.

Daftar Nama Kepala KUA dari Masa ke Masa

NO.
NAMA
MASA JABATAN
01
Endang Suyatman, S.Pd.I
TAHUN 2017 – Sekarang
02
Dulsaman, S.HI.
TAHUN 2015 2017
03
Baki, S.HI
TAHUN 2013 – 2015
04
Bayudin, S.HI
TAHUN 2012 – 2013
05
Padil, SHI
TAHUN 2010 – 2012